Selasa, 08 Januari 2013

LOGIKA DALAM BERPIKIR ILMIAH



I.    Pendahuluan
1.1 Latar Belakang

Manusia adalah makhluk hidup yang sempurna, itulah ungkapan yang sering kita dengar dalam kehidupan sehari-hari. Manusia sebagai ciptaan Tuhan yang paling sempurna memang memiliki banyak kelebihan dibanding makhluk lainnya. Sebagai ciptaan-Nya yang sempurna, manusia dibekali akal dan pikiran untuk bisa dikembangkan, berbeda dengan hewan yang juga memiliki akal dan pengetahuan tapi hanya sebatas untuk mempertahankan dirinya. 
Suhartono ( 2005: 1) menyatakan bahwa manusia mempunyai kemampuan menalar, artinya berpikir secara logis dan analitis. Kelebihan manusia dalam kemampuannya menalar dan karena mempunyai bahasa untuk mengomunikasikan hasil pemikirannya yang abstrak, maka manusia bukan saja mempunyai pengetahuan, melainkan juga mampu mengembangkannya.
Akal dan pikiran merupakan perlengkapan paling sempurna yang disematkan Tuhan kepada manusia. Dengan akal dan pikiran, manusia dapat mengubah dan mengembangkan taraf kehidupannya dari tradisional, berkembang, dan hingga modern. Sifat tidak puas yang secara alamiah ada dalam diri manusia mendorong manusia untuk selalu ingin mengubah keadaan. Ketidakpuasan tersebut menimbulkan perubahan-perubahan sehingga tercipta peradaban dunia yang maju. Kemajuan yang dihasilkan oleh akal dan pikiran manusia membawa dampak positif dan negatif.
Untuk meminimalisir atau mengatasi masalah-masalah yang timbul dari dampak negatif, manusia tetap memerlukan akal untuk berpikir secara benar dan logis. Berpikir secara logis ialah berpikir tepat dan benar yang memerlukan kerja otak dan akal sesuai dengan ilmu-ilmu logika. Setiap apa yang akan diperbuat hendaknya disesuaikan dengan keadaan yang ada pada dirinya masing-masing. Jika hal tersebut sesuai dengan kenyataan dan apabila dikerjakan mendapat keuntungan, maka segera dilaksanakan. Berpikir secara logis juga berarti bahwa selain memikirkan diri kita sendiri juga harus memperhatikan lingkungan, serta berpikir tentang akibat yang tidak terbawa emosi.
Dewasa ini, kemampuan berpikir logis dan kreatif sangat diperlukan khususnya dalam upaya mengembangkan ilmu pengetahuan yang humanis. Berbagai macam pengetahuan berhasil dikembangkan manusia dengan beragam metode berpikir. Hal paling sederhana yang dapat kita amati adalah sekelompok anak sekolah dasar yang sedang melakukan riset IPA. Tanpa disadari, mereka menggunakan proses-proses berpikir tertentu yang berbeda dengan riset-riset pada jenis ilmu pengetahuan lainnya. Beberapa ahli menyebut cara berpikir dengan istilah top-down dan bottom-up.
top-down dan bottom-up merupakan inti dari penalaran logika empiris. Kegiatan Penalaran merupakan suatu proses berpikir dalam menarik sebuah simpulan yang berupa pengetahuan, karena manusia pada hakikatnya merupakan makhluk yang berpikir, merasa, bersikap, dan bertindak, maka tidak heran bahwa manusia mempunyai kedudukan yang lebih tinggi dengan makhluk hidup lainnya.
Sebagai satu kegiatan berpikir maka penalaran itu memiliki ciri-ciri tertentu. Ciri yang pertama adalah adanya pola berpikir secara luas yang dapat disebut logika. Di sini dapat dikatakan bahwa dalam setiap bentuk penalaran mempunyai logikanya tersendiri atau dapat disimpulkan juga bahwa kegiatan penalaran merupakan suatu proses berpikir logis.
Dalam lingkup ini, berpikir logis harus diartikan sebagai kegiatan berpikir menurut suatu pola atau kaidah tertentu atau menurut logika tertentu. Berpikir logis pada dasarnya mempunyai banyak konotasi yang bersifat jamak dan tidak tunggal. Artinya, suatu kegiatan berpikir bisa disebut logis jika ditinjau dari suatu logika tertentu dan mungkin tidak logis bila ditinjau dari sudut pandang logika yang lain. Hal inilah yang menimbulkan gejala yang disebut kekacauan penalaran yang disebabkan oleh ketidakkonsistenan kita dalam menggunakan pola berpikir tertentu.
Kedua, bersifat analitik dari proses berpikirnya, artinya penalaran merupakan suatu kegiatan berpikir yang menyandarkan diri pada suatu analisis dan kerangka berpikir yang dipakai sebagai pijakan analisis tersebut adalah logika penalaran yang bersangkutan. Lebih jelasnya penalaran ilmiah merupakan suatu kegiatan analisis yang menggunakan logika ilmiah. Analisis pada hakikatnya merupakan suatu kegiatan berpikir berdasarkan langkah-langkah tertentu.
Berpikir atau kegiatan berpikir tidak semuanya didasarkan diri kepada penalaran. Berdasarkan kriteria penalaran bisa dikatakan bahwa tidak semua kegiatan berpikir bersifat logis dan analisis. Oleh karena itu, kita dapat membedakan secara jelas mana yang berpikir menurut penalaran dan mana yang berpikir tanpa menggunakan penalaran. Berpikir menurut penalaran yaitu berpikir yang menggunakan dasar logika dan analisis sedangkan berpikir tanpa menggunakan penalaran seperti penggunaan perasaan untuk menarik sebuah simpulan, kemudian penggunakan intuisi sebagai pijakan berpikir ilmiah. Intuisi adalah merupakan kegiatan berpikir yang non-analitik yang tidak mendasarkan diri pada suatu pola berpikir tertentu.
Berdasarkan uraian latar belakang tersebut di atas, dalam makalah ini penulis akan membahas mengenai (1) pengertian berpikir ilmiah, (2) sarana berpikir ilmiah, dan (3) logika dalam berpikir ilmiah.

II.    Pembahasan

2.1 Pengertian Berpikir Ilmiah
Berpikir merupakan suatu aktivitas pribadi yang mengakibatkan penemuan yang terarah kepada suatu tujuan. Manusia berpikir untuk menemukan pemahaman atau pengertian, pembentukan pendapat, dan simpulan atau keputusan dari sesuatu yang dikehendaki. Menurut Suriasumantri (1997: 1) manusia tergolong ke dalam homo sapiens, yaitu makhluk yang berpikir. Hampir tidak ada masalah yang menyangkut dengan aspek kehidupannya yang terlepas dari jangkauan pikiran.
Berpikir merupakan ciri utama bagi manusia untuk membedakan dengan makluk lain. Maka dengan dasar berpikir, manusia dapat mengubah keadaan alam sejauh akal dapat memikirkannya. Berpikir merupakan proses bekerjanya akal, manusia dapat berpikir karena manusia berakal. Ciri utama dari berpikir adalah adanya abstraksi. Dalam arti yang luas, berpikir adalah bergaul dengan abstraksi-abstraksi, sedangkan dalam arti yang sempit berpikir adalah mencari hubungan atau pertalian antara abstraksi-abstraksi (Puswanti, 1992: 44).
Berpikir secara ilmiah adalah upaya untuk menemukan kenyataan dan ide yang belum diketahui sebelumnya. Ilmu merupakan proses kegiatan mencari pengetahuan melalui pengamatan berdasarkan teori dan/atau generalisasi. Ilmu berusaha memahami alam sebagaimana adanya dan selanjutnya hasil kegiatan keilmuan merupakan alat untuk meramalkan dan mengendalikan gejala alam. Adapun pengetahuan adalah keseluruhan hal yang diketahui, yang membentuk persepsi tentang kebenaran atau fakta. Ilmu adalah bagian dari pengetahuan, sebaliknya setiap pengetahuan belum tentu ilmu.
Untuk itu, terdapat syarat-syarat yang membedakan ilmu (science)  dengan pengetahuan (knowledge), yaitu ilmu harus ada obyeknya, terminologinya, metodologinya, filosofinya, dan teorinya yang khas. Di samping itu, ilmu juga harus memiliki objek, metode, sistematika, dan mesti bersifat universal.
Dalam menghadapi bermacam masalah kehidupan di dunia ini, manusia akan menampilkan berbagai alat untuk mengatasi masalahnya. Alat dalam hal ini adalah pikiran atau akal yang berfungsi di dalam pembahasaannya secara filosofis tentang masalah yang dihadapi. Pikiran atau akal yang digunakan mengatasi masalah ini senantiasa bersifat ilmiah. Jadi, pikiran itu harus mempunyai kerangka berpikir ilmiah karena tidak semua berpikir itu bisa diartikan berpikir secara ilmiah. Dalam hal ini, berpikir ilmiah itu mengandung khasiat-khasiat tertentu, yaitu mengabsahir pokok persoalan, bertanya terus sampai batas terakhir yang beralasan dan berelasi (sistem).

2.2 Sarana Berpikir Ilmiah.
Sarana ilmiah pada dasarnya merupakan alat yang membantu kegiatan ilmiah dalam berbagai langkah yang harus ditempuhnya. Pada langkah tertentu biasanya diperlukan sarana yang tertentu pula. Oleh sebab itulah, kita mempelajari sarana-sarana berpikir ilmiah ini seyogyanya kita telah menguasai langkah-langkah dalam kegiatan tersebut. Dengan jalan ini, kita akan sampai pada hakikat sarana yang sebenarnya, sebab sarana merupakan alat yang membantu dalam mencapai suatu tujuan tertentu.
Dengan kata lain, sarana ilmiah mempunyai fungsi-fungsi yang khas dalam kaitan kegiatan ilmiah secara menyeluruh. Dalam proses pendidikan, sarana berpikir ilmiah ini merupakan bidang studi tersendiri. Dalam hal ini kita harus memperhatikan 2 hal, yaitu sebagai berikut.
1. Sarana ilmiah bukan merupakan kumpulan ilmu, dalam pengertian bahwa sarana ilmiah itu merupakan kumpulan pengetahuan yang didapatkan berdasarkan metode ilmiah. Seperti diketahui, salah satu di antara ciri-ciri ilmu umpamanya adalah penggunaan induksi dan deduksi dalam mendapatkan pengetahuan. Sarana berpikir ilmiah tidak mempergunakan cara ini dalam mendapatkan pengetahuannya. Secara lebih jelas dapat dikatakan bahwa ilmu mempunyai metode tersendiri dalam mendapatkan pengetahuaannya yang berbeda dengan sarana berpikir ilmiah.
2. Tujuan mempelajari sarana berpikir ilmiah adalah untuk memungkinkan kita untuk menelaah ilmu secara baik. Tujuan mempelajari ilmu dimaksudkan untuk mendapatkan pengetahuan yang memungkinkan kita untuk dapat memecahkan masalah kita sehari-hari.
Dalam hal ini, maka sarana berpikir ilmiah merupakan alat bagi cabang-cabang ilmu untuk mengembangkan materi pengetahuaannya berdasarkan metode ilmiah. Jelaslah bahwa mengapa sarana berpikir ilmiah mempunyai metode tersendiri yang berbeda dengan metode ilmiah dalam mendapatkan pengetahuaannya, sebab fungsi sarana berpikir ilmiah adalah membantu proses metode ilmiah dan bahkan merupakan ilmu tersendiri. Untuk dapat melakukan kegiatan berpikir ilmiah dengan baik maka diperlukan sarana yang berupa bahasa, logika, matematika, dan statistika.
Bahasa merupakan alat komunikasi verbal yang dipakai dalam seluruh proses berpikir ilmiah dan untuk menyampaikan jalan pikiran tersebut kepada orang lain. Dilihat dari pola berpikirnya maka ilmu merupakan gabungan antara berpikir deduktif dan induktif. Untuk itu, penalaran ilmiah menyandarkan diri pada proses logika deduktif dan induktif. Matematika mempunyai peranan yang penting dalam berpikir deduktif ini, sedangkan statistik mempunyai peranan penting dalam berpikir induktif.
Proses pengujian dalam kegiatan ilmiah mengharuskan kita menguasai metode penelitian ilmiah yang pada hakikatnya merupakan pengumpulan fakta untuk menolak atau menerima hipotesis yang diajukan. Kemampuan berpikir ilmiah yang baik harus didukung oleh penguasaan sarana berpikir ini dengan baik pula. Salah satu langkah ke arah penguasaan itu adalah mengetahui dengan benar peranan masing-masing sarana berpikir tersebut dalam keseluruhan proses berpikir ilmiah.

2.2.1 Fungsi Sarana Berpikir Ilmiah
Sarana ilmiah mempunyai fungsi yang khas, sebagai alat bantu untuk mencapai tujuan dalam kaitan kegiatan ilmiah secara keseluruhan.
Sarana berpikir ilmiah merupakan alat bagi cabang-cabang pengetahuan untuk mengembangkan materi pengetahuannya pada dasarnya ada tiga, yaitu sebagai berikut.
1. Bahasa ilmiah
Bahasa berfungsi sebagai alat komunikasi untuk menyampaikan jalan pikiran seluruh proses berpikir ilmiah. Yang dimaksud bahasa di sini ialah bahasa ilmiah yang merupakan sarana komunikasi ilmiah yang ditujukan untuk menyampaikan informasi yang berupa pengetahuan dengan syarat-syarat (1) bebas dari unsur emotif, (2) reproduktif, (3) obyektif, dan (4) eksplisit.
Bahasa pada hakikatnya mempunyai dua fungsi utama yakni, pertama, sebagai sarana komunikasi antar manusia, dan kedua, sebagai sarana budaya yang mempersatukan kelompok manusia yang mempergunakan bahasa tersebut.
Bahasa adalah unsur yang berpadu dengan unsur-unsur lain di dalam jaringan kebudayaan. Pada waktu yang sama bahasa merupakan sarana pengungkapan nilai-nilai budaya, pikiran, dan nilai-nilai kehidupan kemasyarakatan. Oleh karena itu, kebijaksanaan nasional yang tegas di dalam bidang kebahasaan harus merupakan bagian yang integral dari kebijaksanaan nasional yang tegas di dalam bidang kebudayaan.
Perkembangan kebudayaan Indonesia ke arah peradaban modern sejalan dengan kemajuan dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi menuntut adanya perkembangan cara berpikir yang ditandai oleh kecermatan, ketepatan, dan kesanggupan menyatakan isi pikiran secara eksplisit. Ciri-ciri cara berpikir dan mengungkapkan isi pikiran ini harus dipenuhi oleh bahasa Indonesia sebagai sarana komunikasi dan sebagai sarana berpikir ilmiah dalam hubungan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta modernisasi masyarakat Indonesia.
Selain itu, mutu dan kemampuan bahasa Indonesia sebagai sarana komunikasi keagamaan perlu pula ditingkatkan. Bahasa Indonesia harus dibina dan dikembangkan sedemikian' rupa sehingga ia memiliki kesanggupan menyatakan dengan tegas, jelas, dan eksplisit konsep-konsep yang rumit dan abstrak serta hubungan antara konsep-konsep itu satu sama lain. Untuk mencapai tujuan ini harus dijaga agar senantiasa terdapat keseimbangan antara kesanggupan bahasa Indonesia berfungsi sebagai sarana komunikasi ilmiah dan identitasnya sebagai bahasa nasional Indonesia.
2. Matematika dan logika
Matematika dan logika mempunyai peranan penting dalam berpikir deduktif sehingga mudah diikuti dan dilacak kembali kebenarannya.
Matematika adalah pengetahuan sebagai sarana berpikir deduktif sifat (1) jelas, spesifik, dan informatif, (2) tidak menimbulkan konotasi emosional, dan (3) kuantitatif. Di samping itu, matematika merupakan alat yang memungkinkan ditemukannya serta dikomunikasikannya kebenaran ilmiah lewat berbagai disiplin keilmuan. Matematika dan logika sebagai sarana berpikir deduktif mempunyai fungsi sendiri-sendiri. Logika lebih sederhana penalarannya, sedang matematika sudah jauh lebih terperinci.
3. Statistika
Mempunyai peranan penting dalam berpikir induktif untuk mencari konsep-konsep yang berlaku umum. Statistika ialah pengetahuan sebagai sarana berpikir induktif yang bersifat (1) dapat digunakan untuk menguji tingkat ketelitian, dan (2) untuk menentukan hubungan kausalitas antar faktor terkait
Statistika merupakan ilmu yang mempelajari tentang cara mendapatkan data, menganalisis dan menyajikan data serta mendapatkan suatu simpulan yang sah secara ilmiah.
Statistika digolongkan di luar ilmu tetapi merupakan salah satu unsur dari empat sarana pengembangan ilmu, yaitu bahasa, logika, matematika, serta statistika sendiri. Statistika merupakan sarana berpikir yang didasari oleh logika berpikir induktif. Dalam perkembangannya, statistika mulai berkembang pesat sejak tahun 1900-an ditandai dengan ditemukannya dasar teori statistika secara matematis oleh R.A. Fisher. Statistika sangat berperan dalam perkembangan ilmu pengetahuan terutama dalam penelitian.
Dari penelitianlah ditemukan teori-teori baru. Sasaran utama dari mempelajari statistika adalah menggugah untuk memikirkan secara jelas prosedur pengumpulan data dan membuat interpretasi dari data tersebut menggunakan teknik statistika yang banyak digunakan dalam penelitian. Sejalan dengan pentingnya statistika dalam penelitian, ke depan, persaingan dunia modern ditentukan oleh Hak Patent dan Hak Kekayaan Intelektual (HKI). Tak luput dalam persaingan itu, Universitas Jember pun mempersiapkan diri menuju/menjadi Research University. Riset telah menjadi (satu-satunya) kekuatan utama sebuah perguruan tinggi. Ketajaman riset harus didukung oleh cara berpikir ilmiah metodologis, data yang berkualitas dan ketajaman analisis kuantitatif-kualitatif, serta penarikan simpulan yang sah (inferensia) yang hampir seluruhnya terangkum dalam statistika.
Pada zaman sekarang ini patut dijadikan salah satu sarana berpikir ilmiah adalah alat telekomunikasi seperti halnya komputer, karena didalam komputer semua dapat diakses, dan semua dijawab dan semuanya ada, sesuai dengan apa yang kita inginkan. Jadi, jika komputer dimasukan kedalam katregori ini maka wajar-wajar saja.

2.3 Logika dalam Berpikir Ilmiah
Logika berasal dari kata Yunani kuno (logos) yang berarti hasil pertimbangan akal pikiran yang diutarakan lewat kata dan dinyatakan dalam bahasa. Sebagai ilmu, logika disebut dengan logike episteme (latin: logica scientia) atau ilmu logika (ilmu pengetahuan) yang mempelajari kecakapan untuk berpikir secara lurus, tepat, dan teratur. Ilmu disini mengacu pada kemampuan rasional untuk mengetahui dan kecakapan mengacu pada kesanggupan akal budi untuk mewujudkan pengetahuan ke dalam tindakan. Kata logis yang dipergunakan tersebut bisa juga diartikan dengan masuk akal.
Nama ‘logika’ untuk pertama kali muncul pada filsuf Cicero (abad ke-1 sebelum masehi), tetapi masih dalam arti ‘seni berdebat’. Alexander Aphrodisias (sekitar permulaan abad ke-3 sesudah masehi) adalah orang yang pertama kali menggunakan kata ‘logika’ dalam arti ilmu yang menyelidiki lurus tidaknya pemikiran kita.
Logika sebagai cabang filsafat adalah cabang filsafat tentang berpikir. Logika membicarakan tentang aturan-aturan berpikir agar dengan aturan-aturan tersebut dapat mengambil kesimpulan yang benar. Dengan mengetahui cara atau aturan-aturan tersebut dapat menghindarkan diri dari kesalahan dalam mengambil keputusan. Logika sama tuanya dengan umur manusia, sebab sejak manusia itu ada, manusia sudah berpikir, manusia berpikir sebenarnya logika itu telah ada. Hanya saja logika itu dinamakan logika naturalis, sebab berdasarkan kodrat dan fitrah manusia saja.
Manusia walaupun belum mempelajari hukum-hukum akal dan kaidah-kaidah ilmiah, namun praktis sudah dapat berpikir dengan teratur. Akan tetapi, bila manusia memikirkan persoalan-persoalan yang lebih sulit maka seringlah dia tersesat. Misalnya, ada dua berita yang bertentangan mutlak, sedang kedua-duanya menganggap dirinya benar. Dapatlah kedua-duanya dibenarkan semua? Untuk menolong manusia jangan tersesat dirumuskan pengetahuan logika. Logika rumusan inilah yang digunakan logika artificialis.

2.3.1 Macam-macam logika
1.      Logika alamiah adalah kinerja akal budi manusia yang berpikir secara tepat dan lurus sebelum dipengaruhi oleh keinginan-keinginan dan kecenderungan-kecenderungan yang subyektif. Kemampuan logika alamiah manusia ada sejak lahir. 
2.      Logika ilmiah memperhalus, mempertajam pikiran serta akal budi. Logika ilmiah menjadi ilmu khusus yang merumuskan azas-azas yang harus ditepati dalam setiap pemikiran. Berkat pertolongan logika ilmiah inilah akal budi dapat bekerja dengan lebih tepat, lebih teliti, lebih mudah dan lebih aman. Logika ilmiah dimaksudkan untuk menghindarkan kesesatan atau, paling tidak, dikurangi.

2.3.2 Cara-cara Berpikir Logis dalam Rangka Mendapatkan Pengetahuan Baru yang Benar
a.      Penalaran deduktif (rasionalisme)
Penalaran Deduktif adalah cara berfikir yang bertolak dari pernyataan yang  bersifat umum untuk menarik kesimpulan yang bersifat khusus, dengan demikian kegiatan berfikir yang berlawanan dengan induksi. Penarikan kesimpulan secara deduktif ini menggunakan pola berpikir yang disebut silogisme. Silogisme terdiri atas dua pernyataan dan sebuah kesimpulan. Kedua pernyataan itu disebut premis mayor dan premis minor. Sedangkan simpulan diperoleh dengan penalaran deduktif dari kedua premis tersebut. Misalnya, (1) Semua kendaraan bermesin menggunakan bahan bakar bensin. (2) Motor adalah kendaraan bermesin. Jadi, dapat disimpulkan ”motor juga menggunakan bahan bakar bensin.
Simpulan yang diambil dalam penalaran deduktif ini hanya benar, bila kedua premis yang digunakan benar dan cara menarik simpulannya juga benar. Jika salah satu saja dari ketiga hal ini salah, berarti simpulan yang diambil juga tidak benar.
Penalaran deduktif merupakan salah satu cara berpikir logis dan analitis, berkat pengamatan yang semakain sestimatis dan kritis, serta makin bertambahnya pengetahuan yang diperoleh, lambat laun manusia berusaha menjawab masalah dengan cara rasional dengan meninggalkan cara irasional atau mitos. Pemecahan secara rasional berarti menggunakan rasio (daya pikir) dalam usaha memperoleh pengetahuan yang benar. Paham yang mendasarkan rasio untuk memperoleh kebenaran itu disebut paham rasionalisme. Dalam menyusun pengetahuan kaum rasionalis sering menggunakan penalaran deduktif.

b.      Penalaran Induktif (empirisme)
Penganut  empirme mengembangkan pengetahuan bedasarkan pengalaman konkret. Mereka menganggap bahwa pengetahuan yang benar adalah pengetahuan yang diperoleh langsung dari pengalaman nyata. Penganut ini menyusun pengetauan menggunakan penalaran induktif. Penalaran induktif adalah cara berpikir untuk menarik simpulan yang bersifat umum dari pengamatan atas gejala-gejala yang bersifat khusus. Penalaran ini diawali dari kenyataan-kenyataan yang bersifat khusus dan terbatas lalu diakhiri dengan pernyataan yang  bersifat umum. Misalnya, dari pengamatan atas logam besi, tembaga, alumunium dan sebagainya, jika dipanaskan akan mengembang (bertambah panjang). Dari sini dapat disimpulkan secara umum bahwa semua logam jika dipanaskan akan bertambah panjang.



c.       Analogi
Analogi adalah cara berpikir dengan cara membuktikan dengan hal yang serupa dan sudah diketahui sebelumnya. Di sini penyimpulan dilakukan secara tidak langsung, tetapi dicari suatu media atau penghubung yang mempunyai persamaan dan keserupaan dengan apa yang akan dibuktikan.

d.      Komparasi
Komparasi adalah cara berpikir dengan cara membandingkan dengan sesuatu yang mempunyai kesamaan apa yang dipikirkan. Dasar pemikiran ini sama dengan analogi, yaitu tidak langsung, tetapi penekanan pemikirannya ditujukan pada kesepadanan bukan pada perbedaannya.

2.3.3 Kegunaan logika 
  1. Membantu setiap orang yang mempelajari logika untuk berpikir secara rasional, kritis, lurus, tetap, tertib, metodis dan koheren.
  2. Meningkatkan kemampuan berpikir secara abstrak, cermat, dan objektif.
  3. Menambah kecerdasan dan meningkatkan kemampuan berpikir secara tajam dan mandiri. 
  4. Memaksa dan mendorong orang untuk berpikir sendiri dengan menggunakan asas-asas sistematis

III.    Penutup
3.1 Simpulan
Berdasarkan uraian-uraian mengenai logika dan berpikir ilmiah di atas dapat disimpulkan bahwa dalam sebuah proses berpikir ilmiah atau menarik sebuah simpulan harus dilandasi oleh logika. Disebut logika bilamana logika secara luas dapat definisikan sebagai ”pengkajian untuk berpikir secara sahih”. Penarikan simpulan dalam berpikir ilmiah dapat dilakukan dengan dua cara yaitu dengan logika deduktif dan logika induktif. Bahasa sebagai sarana berpikir ilmiah juga sangat berperan penting dalam melakukan kegiatan berpikir ilmiah. Karena dengan bahasa merupakan alat komunikasi verbal yang dipakai dalam seluruh proses berpikir ilmiah di mana bahasa merupakan alat berpikir dan alat komunikasi untuk menyampaikan jalan pikiran tersebut kepada orang lain. Tanpa bahasa maka manusia tidak akan dapat berpikir secara rumit dan abstrak seperti apa yang kita lakukan dalam kegiatan ilmiah.
Sarana berpikir ilmiah pada dasarnya ada tiga, yaitu bahasa ilmiah, logika dan matematika, Logika dan Statistika. Bahasa ilmiah berfungsi sebagai alat komunikasi untuk menyampaikan jalan fikiran seluruh proses berfikir ilmiah. Logika dan matematika mempunyai peranan penting dalam berpikir deduktif sehingga mudah diikuti dan mudah dilacak kembali kebenarannya. Sedangkan logika dan statistika mempunyai peranan penting dalam berfikir induktif dan mencari konsep-konsep yang berlaku umum. Namun dizaman sekarang komputer jaga bisa dimasukan sebagai sarana berfikir ilmiah, karena dalam komputer semua ada, dan apa yang kita inginkan hmapir seluruhnya dapat dijawab oleh komputer.

IV. Daftar Pustaka
http://www.logika-berpikir-ilmiah.com
http://www.bahasa-berpikir-ilmiah.com
Puswanti, M. Ngalim. 1992. Psikologi Pendidikan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Suhartono, Suparlan. 2005. Sejarah Pemikiran Filsafat Modern. Jogjakarta: Ar Ruzz Media.
Suriasumantri, Jujun S. 1997. Ilmu dalam Perspektif, Sebuah Kumpulan Karangan Tentang Hakekat Ilmu. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

APA, MENGAPA, DAN BAGAIMANA SERTIFIKASI GURU MENUJU PROFESIONALISME PENDIDIK



1.      Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
Sekarang ini, mutu pendidikan di Indonesia semakin mengkhawatirkan. Hal ini terlihat dari menurunnya peringkat Indonesia dalam HDI (Human Development Index) pada  tahun 2011 dari peringkat ke 111 dari 182 negara ke peringkat 124 dari 187 negara (www.suaramerdeka.com). Hal tersebut sangatlah ironis karena menggambarkan bagaimana perkembangan mutu pendidikan di Indonesia. Kurangnya mutu pendidikan di Indonesia disebabkan oleh berbagai faktor. Salah satu faktor yang memengaruhi adalah kualitas pendidik atau kualitas guru. Guru sebagai seorang pendidik sangat berpengaruh pada mutu pendidikan, karena peran seorang guru adalah mengajarkan berbagai pengetahuan kepada siswanya. Selain itu, seorang guru juga harus mampu mengembangkan segala potensi dan kepribadian siswanya.
Undang-Undang Nomor 14 tahun 2005 tentang guru dan dosen menyatakan bahwa guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah. Dalam hal ini, pendidik harus memiliki kualifikasi akademik dan kompetensi sebagai agen pembelajaran, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional (Muslich, 2007: 87).
Dalam sebuah proses pendidikan, guru merupakan salah satu komponen yang sangat penting karena dianggap mampu memahami, mendalami, melaksanakan, dan akhirnya mencapai tujuan pendidikan (Nurdin, 2008: 17). Guru mempunyai kedudukan sebagai tenaga profesional pada jenjang pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan formal yang diangkat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Pengakuan kedudukan guru sebagai tenaga profesional tersebut dibuktikan dengan sertifikat pendidik. Lebih lanjut Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang guru tersebut mendefinisikan bahwa profesional adalah pekerjaan atau kegiatan yang dilakukan oleh seseorang dan menjadi sumber penghasilan kehidupan yang memerlukan keahlian, kemahiran, atau kecakapan yang memenuhi standar mutu atau norma tertentu serta memerlukan pendidikan profesi.
Dengan adanya sertifikasi tersebut, diharapkan guru mampu meningkatkan kinerja yang lebih baik sehingga peningkatan mutu pendidikan akan berjalan ke arah yang lebih baik pula. Di samping itu, juga diharapkan agar guru sebagai tenaga profesional dapat berfungsi untuk meningkatkan martabat dan peran guru sebagai agen pembelajaran dan berfungsi untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional, serta meningkatnya mutu pembelajaran dan mutu pendidikan secara berkelanjutan.

1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian tersebut di atas, dalam makalah ini akan dipaparkan beberapa permasalahan, yaitu sebagai berikut.
  1. Apakah yang dimaksud dengan sertifikasi guru itu?
  2. Apakah yang menjadi tujuan dan manfaat sertifikasi guru itu?
  3. Apa sajakah yang menjadi tahapan dalam sertifikasi guru?

1.3 Tujuan
            Adapun tujuan dari makalah ini, yaitu sebagai berikut.
  1. Untuk mengetahui hakikat sertifikasi guru.
  2. Untuk mengetahui tujuan dan manfaat sertifikasi guru.
  3. Untuk mengetahui tahapan dalam sertifikasi guru.

2.      Pembahasan
2.1  Pengertian Sertifikasi Guru
Sertifikasi adalah proses pemberian sertifikat pendidik untuk guru. Sertifikasi ini diberikan kepada para guru untuk memenuhi standar professional guru. Sertifikasi bagi guru prajabatan dilakukan melalui pendidikan profesi di LPTK yang terakreditasi dan ditetapkan pemerintah diakhiri dengan uji kompetensi. Sertifikasi guru dalam jabatan dilakukan sesuai dengan Peraturan Menteri Pendidkan Nasional Nomor 18 Tahun 2007, yakni dilakukan dalam bentuk portofolio.
Penilaian portofolio ini digunakan sebagai pengakuan atas standar profesionalitas guru dalam bentuk kumpulan dokumen yang menggambarkan kualitas guru yang mengarah pada sepuluh komponen, yaitu kualifikasi akademik, pendidikan dan pelatihan, pengalaman mengajar, perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran, penilaian dari atasan dan pengawas, prestasi akademik, karya pengembangan profesi, keikutsertaan dalam forum ilmiah, pengalaman organisasi di bidang kependidikan dan sosial, penghargaan yang relevan dengan bidang pendidikan.
Sertifikasi guru adalah sebuah upaya peningkatan mutu guru dibarengi dengan peningkatan kesejahteraan guru sehingga diharapkan dapat meningkatkan mutu pembelajaran dan mutu pendidikan di Indonesia secara berkelanjutan. Bentuk peningkatan kesejahteran guru berupa tunjangan profesi sebesar satu kali gaji pokok bagi guru yang telah memiliki sertifikat pendidik.
Perlunya ada sertifikat pendidik bagi guru dan dosen, bukan saja untuk memenuhi persyaratan sebuah profesi yang menuntut adanya kualifikasi minimum dan sertifikasi, juga dimaksudkan agar guru dan dosen dapat diberi tunjangan profesi oleh negara. Tunjangan profesi itu diperlukan sebagai syarat mutlak sebuah profesi agar penyandang profesi dapat hidup layak dan memadai, apalagi hingga saat ini guru dan dosen masih tergolong kelompok yang berpengahasilan rendah yang harus dibantu meningkatkan kesejahteraan melalui undang- undang.
Berdasarkan kepentingan tersebut, maka dalam Undang- Undang Guru dan Dosen dengan tegas dirumuskan pada pasal 16, bahwa pemerintah memberikan tunjangan profesi guru yang diangkat oleh pemerintah dan satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat yang memiliki sertifikat pendidik yang besarnya setara dengan satu kali gaji pokok yang diangkat oleh pemerintah pada tingkatan masa kerja dan kualifikasi yang sama. Tunjangan profesi ini dialokasikan dalam APBN dan APBD. Subtansi yang sama bagi dosen diatur dalam pasal 53 UUGD. Dengan demikian maka diskriminasi antara guru dan dosen yang berstatus PNS dan non-PNS tidak akan terjadi lagi.

2.2 Tujuan dan Manfaat Sertifikasi Guru
Undang-Undang Guru dan Dosen (UUGD) menyatakan bahwa sertifikasi sebagai bagian dari peningkatan mutu guru dan peningkatan kesejahteraannya (Muslich, 2007: 7). Di samping itu, guru yang memiliki sertifikat pendidik, berhak mendapatkan insentif yang berupa tunjangan profesi. Besar insentif tunjangan profesi yang dijanjikan oleh UUGD adalah sebesar satu kali gaji pokok untuk setiap bulannya.
Dengan adanya peningkatan kesejahteraan guru diharapkan akan terjadi peningkatan mutu pendidikan nasional dari segi proses yang berupa layanan dan hasil yang berupa luaran pendidikan. Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan secara eksplisit mengisyaratkan adanya standarisasi isi, proses, kompetensi lulusan, pendidik dan tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, pembiayaan, dan penilaian pendidikan dalam mencapai tujuan pendidikan nasional.
Dengan adanya sertifikasi pendidik, diharapkan kompetensi guru sebagai pengajar akan meningkat sesuai dengan standar yang telah ditetapkan. Dengan kompetensi guru yang memenuhi standar minimal dan kesejahteraan yang memadai diharapkan kinerja guru dalam mengelola proses pembelajaran dapat meningkat. Oleh karena itu, diharapkan akan terjadinya peningkatan hasil belajar siswa.
Sebagaimana lazim dipahami di kalangan pendidikan guru, “sosok utuh” kompetensi profesional guru terdiri atas kemampuan:
a)      mengenal secara mendalam peserta didik yang hendak dilayani;
b)      menguasai bidang ilmu sumber bahan ajaran, baik dari segi substansi dan metodologi bidang ilmu (disciplinary content knowledge), maupun pengemasan bidang ilmu yang menjadi bahan ajar dalam kurikulum (pedagogical content knowledge);
c)      menyelenggarakan pembelajaran yang mendidik, yang mencakup perancangan program pembelajaran berdasarkan serangkaian keputusan situasional, implementasi program pembelajaran termasuk penyesuaian sambil jalan (midourse) berdasarkan on going transactional decision berhubungan dengan adjustments dan reaksi unik (idiosyncratic response) dari peserta didik terhadap tindakan guru, mengakses proses dan hasil pembelajaran, dan menggunakan hasil asesmen terhadap proses dan hasil pembelajaran secara berkelanjutan;
d)     mengembangkan kemampuan professional secara berkelanjutan.
Oleh karena itu, “rujukan dasar” yang digunakan dalam penyelenggaraan sertifikasi guru adalah sosok utuh kompetensi professional guru tersebut. Peningkatan mutu guru lewat program sertifikasi ini sebagai upaya peningkatan mutu pendidikan. Rasionalnya adalah apabila kompetensi guru bagus yang diikuti dengan penghasilan bagus, diharapkan kinerjanya juga bagus. Apabila kinerjanya bagus, maka kegiatan belajar-mengajar pun menjadi bagus. Kegiatan belajar-mengajar yang bagus diharapkan dapat membuahkan pendidikan yang bermutu. Pemikiran itulah yang mendasari bahwa guru perlu disertifikasi.
Menurut Muslich (2007: 9), manfaat uji sertifikasi antara lain sebagai berikut.
1.      Melindungi profesi guru dari praktik layanan pendidikan yang tidak kompeten sehingga dapat merusak citra profesi guru itu sendiri.
2.      Melindungi masyarakat dari praktik pendidikan yang tidak berkualitas dan professional yang akan menghambat upaya peningkatan kualitas pendidikan dan penyiapan sumber daya manusia di negeri ini.
3.      Menjadi wahana penjamin mutu bagi Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) yang bertugas mempersiapkan calon guru dan juga berfungsi sebagai kontrol mutu bagi pengguna layanan pendidikan.
4.      Menjaga lembaga penyelenggara pendidikan dari keinginan internal dan eksternal yang potensial dapat menyimpang dari ketentuan yang berlaku.

2.3 Tahapan dalam Sertifikasi Guru
Guna meningkatkan mutu pembelajaran dan pendidikan di Indonesia, pemerintah telah meluncurkan berbagai kebijakan, salah satunya yang saat ini sedang hangat dibicarakan adalah kebijakan yang berkaitan dengan sertifikasi guru. Meski dengan kuota yang terbatas, di beberapa daerah–melalui Dinas Pendidikan setempat-saat ini sedang menawarkan kepada guru-guru yang dianggap telah memenuhi syarat untuk diajukan sebagai calon peserta sertifikasi.
Sambutannya memang luar biasa, para guru sangat antusias untuk mengikuti kegiatan seleksi ini, bahkan para guru yang diberi tugas tambahan sebagai kepala sekolah pun ramai-ramai ikut mendaftarkan diri sebagai calon peserta, terlepas apakah yang bersangkutan masih aktif atau tidak aktif menjalankan profesi keguruannya.
Barangkali, motivasi yang sangat kuat untuk ikut serta dalam ajang ini adalah di samping keinginan memperoleh legitimasi sebagai guru profesional atau guru yang kompeten, tentunya daya tarik dari disediakannya tunjangan profesi dan fasilitas lainnya yang lumayan menggiurkan. Dalam Permendiknas Nomor 18 tahun 2007 tentang Sertifikasi bagi Guru dalam Jabatan disebutkan bahwa sertifikasi bagi guru dalam jabatan dilaksanakan melalui uji kompetensi dalam bentuk penilaian portofolio alias penilaian kumpulan dokumen yang mencerminkan kompetensi guru, dengan mencakup 10 (sepuluh) komponen yaitu sebagai berikut.
1.      Kualifikasi akademik
2.      Pendidikan dan pelatihan
3.      Pengalaman mengajar
4.      Perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran
5.      Penilaian dari atasan dan pengawas
6.      Prestasi akademik
7.      Karya pengembangan profesi
8.      Keikutsertaan dalam forum ilmiah
9.      Pengalaman organisasi di bidang pendidikan dan sosial
10.  Penghargaan yang relevan dengan bidang pendidikan
Jika kesepuluh komponen tersebut telah dapat terpenuhi secara objektif dengan mencapai skor minimal 850 atau 57% dari perkiraan skor maksimum (1500), maka yang bersangkutan bisa dipastikan untuk berhak menyandang predikat sebagai guru profesional, beserta sejumlah hak dan fasilitas yang melekat dengan jabatannya. Sayangnya, untuk memenuhi batas minimal 57% saja ternyata tidak semudah yang dibayangkan, sejumlah permasalahan masih menghadang di depan.
Permasalahan tidak hanya dirasakan oleh para guru yang belum memiliki kualifikasi D4/S1 saja, yang jelas-jelas tidak bisa diikutsertakan, tetapi bagi para guru yang sudah berkualifikasi D4/S1 pun tetap akan menjumpai sejumlah persoalan, terutama kesulitan guna memenuhi empat komponen lainnya, yaitu komponen:
(1) pendidikan dan pelatihan,
(2) keikutsertaan dalam forum ilmiah,
(3) prestasi akademik, dan
(4) karya pengembangan profesi.
Saat ini, keempat komponen tersebut belum sepenuhnya dapat diakses dan dikuasai oleh setiap guru, khususnya oleh guru-guru yang berada jauh dari pusat kota. Frekuensi kegiatan pelatihan dan pendidikan, forum ilmiah, dan momen-momen lomba akademik relatif masih terbatas. Begitu juga budaya menulis, budaya meneliti, dan berinovasi belum sepenuhnya berkembang di kalangan guru. Semua ini tentu akan menyebabkan kesulitan tersendiri bagi para guru untuk meraih poin dari komponen-komponen tersebut. Oleh karena itu, jika ke depannya kegiatan sertifikasi guru masih menggunakan pola yang sama, yaitu dalam bentuk penilaian portofolio dengan mencakup 10 (sepuluh) komponen seperti di atas, maka perlu dipikirkan upaya-upaya agar setiap guru dapat memperoleh kesempatan yang lebih luas untuk meraih poin dari komponen-komponen tersebut, di antaranya melalui beberapa upaya berikut ini.
  1. Meningkatkan kuantitas dan kualitas kegiatan pendidikan dan pelatihan, serta forum ilmiah di setiap daerah dan para guru perlu terus-menerus dimotivasi dan difasilitasi untuk dapat berpartisipasi di dalamnya. Memang idealnya, kegiatan pendidikan dan pelatihan atau mengikuti forum ilmiah sudah harus merupakan kebutuhan yang melekat pada diri individu guru itu sendiri, sehingga guru pun sudah sewajarnya ada kerelaan berkorban, baik berupa materi, tenaga dan fikiran guna dan mengikuti kegiatan pendidikan dan pelatihan maupun forum ilmiah. Tetapi harus diingat pula bahwa kegiatan pendidikan, pelatihan dan forum ilmiah tidak hanya untuk kepentingan individu guru yang bersangkutan semata, tetapi organisasi pun (baca: sekolah atau dinas pendidikan) didalamnya memiliki kepentingan. Oleh karena itu sudah sewajarnya jika sekolah atau dinas pendidikan berusaha seoptimal mungkin untuk memfasilitasi kegiatan pendidikan dan pelatihan atau forum ilmiah bagi para guru.
  2. Meningkatkan frekuensi momen lomba-lomba, baik untuk kalangan guru maupun siswa (guru akan diperhitungan dalam perannya sebagai pembimbing) di daerah-daerah, secara berjenjang mulai dari tingkat sekolah, kecamatan sampai dengan tingkat kabupaten dan bahkan bila memungkinkan bisa diikutsertakan pada tingkat yang lebih tinggi. Lomba bagi guru tidak hanya diartikan dalam bentuk pemilihan guru berprestasi yang sudah biasa dilaksanakan setiap tahunnya, tetapi juga bentuk-bentuk perlombaan lainnya yang mencerminkan kemampuan akademik, pedagogik dan sosio-personal guru. Kegiatan lomba bagi guru dan siswa pada tingkat sekolah sebenarnya jauh lebih penting, karena melalui ajang lomba pada tingkat sekolah inilah dapat dihasilkan guru-guru dan siswa terpilih, yang selanjutnya dapat diikutsertakan berkompetisi pada ajang lomba tingkat berikutnya. Agar kegiatan lomba pada tingkat sekolah memperoleh respons positif, khususnya dari para guru, sudah barang tentu sekolah harus mampu memberikan apresiasi yang seimbang dan menarik.
  3. Untuk menumbuhkan budaya menulis, kiranya perlu dipikirkan agar di setiap sekolah diterbitkan bulletin, majalah sekolah atau media lainnya (publikasi melalui internet atau majalah dinding, misalnya), yang beberapa materinya berasal dari para guru secara bergiliran. Dalam hal ini, untuk sementara bisa saja mengabaikan dulu apakah berbobot atau tidaknya karya tulisan mereka, yang diutamakan di sini adalah kemauan mereka untuk memulai menulis. Apabila memang ditemukan karya guru yang dipandang bagus dan berbobot, tidak ada salahnya untuk mencoba dikirimkan ke majalah atau koran-koran tertentu yang memungkinkan bisa dipertimbangkan untuk kepentingan penilaian sertifikasi.
  4. Untuk menanamkan budaya meneliti di kalangan guru, sekolah-sekolah dapat memfasilitasi dan memberikan motivasi kepada guru untuk melaksanakan kegiatan Penelitian Tindakan Kelas, bisa saja dalam bentuk lomba Penelitian Tindakan Kelas atau bahkan bila perlu dengan cara mewajibkan para guru untuk melaksanakan Penelitian Tindakan Kelas, minimal dalam satu tahun satu kali. Di samping untuk kepentingan penilaian sertifikasi, kegiatan Penelitian Tindakan Kelas terutama dapat dimanfaatkan untuk kepentingan perbaikan mutu proses pembelajaran guru yang bersangkutan, sehingga guru tidak terjebak dan berkutat dalam proses pembelajaran yang sama sekali tidak efektif. Tentunya, dalam hal ini setiap hasil karya dari setiap guru perlu diapresiasi secara seimbang pula, baik dalam bentuk materi maupun non materi.

Penyelenggaraan kegiatan pendidikan dan pelatihan, forum ilmiah dan aneka lomba akademik bagi guru, sudah pasti harus menjadi tanggung jawab pemerintah, khususnya pemerintah daerah melalui sekolah atau Dinas Pendidikan setempat. Akan tetapi, organisasi profesi, perguruan tinggi dan masyarakat setempat pun seyogyanya dapat turut ambil bagian untuk menyelenggarakan dan memfasilitasi kegiatan-kegiatan tersebut, sebagai wujud nyata dari tanggung jawab dan kepeduliannya terhadap pendidikan.
Dengan semakin terbukanya peluang-peluang untuk mengikuti berbagai kegiatan di atas, maka kesempatan guru untuk memperoleh poin penilaian dalam rangka mengikuti program sertifikasi pun semakin terbuka lebar. Bersamaan itu pula, niscaya kualitas guru dapat menjadi lebih baik dalam mengantarkan pendidikan dan sumber daya manusia Indonesia menuju ke arah yang lebih berkualitas.
Masih seputar permasalahan sertifikasi guru, khusus untuk para konselor/guru pembimbing tampaknya harus lebih bersabar lagi, karena hingga saat ini sepertinya pemerintah belum sepenuhnya menunjukkan keberpihakannya pada profesi ini. Berbagai ketidakjelasan dalam kebijakan tentang konseling di sekolah, termasuk dalam hal sertifikasi konselor/guru pembimbing masih tetap dirasakan membingungkan, misalnya dalam menilai perencanaan dan pelaksanaan konseling, saat ini terpaksa masih menggunakan instrumen penilaian perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran, yang sebenarnya isi dan indikatornya kurang sesuai dengan karakteristik tugas dan pekerjaan konseling.
Padahal, kita mencatat ada beberapa nama pakar konseling yang secara langsung atau tidak langsung terlibat dalam perumusan kebijakan sertifikasi guru ini, namun tampaknya suara mereka masih parau, sehingga tak mampu untuk mengangkat nasib profesinya sendiri. Selain itu, para konselor/guru pembimbing pun sebetulnya sudah memiliki organisasi tersendiri yang disebut Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia (ABKIN), tetapi tampaknya kekuatan organisasi ini pun masih belum memiliki taring yang tajam untuk memperjuangkan nasib anggota profesi dan eksisitensi profesinya sendiri dalam kebijakan pendidikan nasional kita. Meskipun dalam organisasi profesi ini banyak pakar konseling yang terlibat sebagai pengurus maupun anggota organisasi, tetapi rupanya kepakaran mereka tidaklah cukup untuk meyakinkan pemerintah dalam membuat kebijakan pendidikan yang benar-benar memiliki keberpihakan pada profesi konseling, yang pada akhirnya profesi konseling tetap saja dalam posisi yang termarjinalkan. Memang sungguh sangat tragis dan menyakitkan, dan itulah salah satu lagi bukti dari “keajaiban” kebijakan pendidikan kita.
Sesungguhnya paradigma baru pendidikan nasional, telah menempatkan pendidik sebagai tenaga profesional yang bertugas merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan dan pelatihan, serta melakukan penelitian dan pengabdian masyarakat. Dalam ketentuan umum UUGD (pasal 1) pengertian professional diberi rumusan: “Profesional adalah kegiatan atau yang dilakukan seseorang dan menjadi sumber penghasilan kehidupan yang memerlukan keahlian, kemahiran atau kecakapan yang memenuhi standar mutu atau norma tertentu, serta memerlukan pendidikan profesi”. Sejalan dengan hal tersebut, Poerwadarminta (2007: 911) menyatakan bahwa profesional mengharuskan adanya pembayaran untuk melakukannya.
Selanjutnya pasal 7 ayat 1 UUGD ditetapkan dengan jelas sembilan prinsip professional yaitu guru dan dosen: (a) memiliki bakat, minat dan panggilan jiwa dan idealisme, (b) memiliki komitmen untuk meningkatkan mutu pendidikan, keimanan, ketaqwaan, dan akhlak mulia, (c) memiliki kualifikasi akademik dan latar belakang pendidikan sosial dengan bidang tugas,  (d) memiliki kompetensi yang diperlukan sesuai dengan bidang tugas, (e) memiliki tanggung jawab atas pelaksanaan tugas keprofesionalan, (f) memperoleh penghasilan yang ditentukan sesuai dengan prestasi kerja, (g) memiliki kesempatan untuk mengembangkan keprofesionalan secara berkelanjutan dengan belajar sepanjang hayat, (h) memiliki jaminan perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas keprofesionalannya, dan khusus bagi guru harus (i) memiliki organisasi profesi yang mempunyai kewenangan mengatur hal- hal berkaitan dengan tugas keprofesionalan guru.
Pemberdayaan profesi guru atau pemberdayaan profesi dosen dilaksanakan melalui pengembangan diri yang dilakukan secara demokratis, berkeadilan, tidak diskriminatif dan berkelanjutan dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, kemajemukan bangsa, dan kode etik organisasi profesi. Profesi itu merupakan suatu jenis pelayanan atau pekerjaan yang unik (khas), dalam arti berbeda dari jenis pekerjaan atau pelayanan apapun yang lainnya (Saud, 2009: 9).
Selain itu, dalam pasal 1 ayat 1 butir 1 UUGD ditetapkan bahwa guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah termasuk pendidikan usia dini.
Kedudukan guru sebagai tenaga professional diatur lebih rinci pada pasal 2 ayat 1 UUGD, bahwa guru mempunyai kedudukan sebagai tenaga profesional pada jenjang pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan formal yang diangkat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Pengakuan kedudukan guru sebagai tenaga profesional dibuktikan dengan sertifikat pendidik.
Pengakuan kedudukan guru sebagai tenaga profesional yang dibuktikan dengan sertifikat pendidik berfungsi untuk meningkatkan martabat dan peran guru sebagai agen pembelajaran dalam meningkatkan mutu pendidikan. Selanjutnya, kedudukan guru sebagai tenaga professional bertujuan untuk melaksanakan sistem pendidikan nasional dan mewujudkan tujuan pendidikan nasional, yaitu berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, serta menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab.
Patut disadari bahwa kedudukan guru sebagai tenaga profesional dimaksudkan agar guru mempunyai kompetensi ilmu, teknis, dan moral dalam menjalankan tugasnya secara bertanggung jawab dengan jaminan kesejahteraan yang memadai untuk memenuhi hak warga negara memperoleh pendidikan yang bermutu. Bahkan, lebih jauh dari itu, untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dengan mecapai tujuan pendidikan.
Perlu ditegaskan bahwa sertifikat merupakan sarana atau instrumen meningkatkan kualitas kompetensi guru supaya menjadi guru yang profesional, untuk sertifikasi guru bukan tujuan melainkan sarana untuk mencapai tujuan, yaitu menciptakan guru yang berkualitas. Oleh karena itu, perlu diwaspadai adanya kecenderungan sebagai orang yang melihat bahwa sertifikasi guru adalah tujuan, sebab kalau ini yang terjadi maka kualitas guru yang diharapkan tidak akan tercapai.

3.      Penutup
3.1  Simpulan
Dengan adanya program sertifikasi guru diharapkan kinerja guru akan meningkat sehingga mutu pendidikan di Indonesia juga akan meningkat ke arah yang lebih baik. Setelah disertifikasi, diharapkan guru dapat memenuhi empat komponen seperti yang tertuang dalam Undang-Undang Guru dan Dosen Pasal 10 dan Peraturan Pemerintah tentang Standar Nasional Pendidikan Pasal 28. Kompetensi guru meliputi empat komponen, yaitu kompetensi pedagogik, kepribadian, professional, dan sosial. Namun, dalam praktiknya, banyak guru yang tidak dapat memenuhi keempat komponen tersebut dan dari beberapa penelitian juga menunjukan bahwa kinerja guru tidak meningkat setelah adanya sertifikasi dan cenderung masih sama sebelum adanya sertifikasi. Untuk menjaga mutu guru yang sudah lolos sertifikasi seharusnya ada pola pembinaan dan pengawasan yang terpadu dan berkelanjutan bagi para guru.
Oleh karena itu, “rujukan dasar” yang digunakan dalam penyelenggaraan sertifikasi guru adalah sosok utuh kompetensi professional guru tersebut. Peningkatan mutu guru lewat program sertifikasi ini sebagai upaya peningkatan mutu pendidikan. Rasionalnya adalah apabila kompetensi guru bagus yang diikuti dengan penghasilan bagus, diharapkan kinerjanya juga bagus. Apabila kinerjanya bagus, maka kegiatan belajar-mengajar pun menjadi bagus. Kegiatan belajar-mengajar yang bagus diharapkan dapat membuahkan pendidikan yang bermutu. Pemikiran itulah yang mendasari bahwa guru perlu disertifikasi.
Undang-Undang Guru dan Dosen (UUGD) telah ditetapkan dan sudah menjadi suatu kebijakan untuk mewujudkan guru yang profesional dan menetapkan kualifikasi dan sertifikasi sebagai bagian penting dalam menentukan kualitas dan kepentingan guru. Upaya sungguh- sungguh perlu dilaksanakan untuk mewujudkan guru yang profesional, sejahtera dan memiliki kompetensi. Hal ini merupakan syarat mutlak untuk menciptakan sistem dan praktek pendidikan yang berkualitas sebagai prasyarat untuk mewujudkan kemakmuruan dan kemajuan bangsa Indonesia.

3.2 Saran
Dihadapan masyarakat, keberadaan seorang guru dianggap dan dipandang sebagai orang yang memiliki kemampuan (pendidikan) yang tinggi. Oleh karena itu, seorang guru harus betul-betul komitmen dalam menjalankan tugasnya, karena berhasil tidaknya pendidikan bergantung pada potensi seorang guru.

Daftar Pustaka

Muslich, Masnur. 2007. Sertifikasi Guru Menuju Profesionalisme Pendidik. Jakarta: PT Bumi Aksara.
Nurdin, Muhamad. 2008. Kiat Menjadi Guru Profesional. Jogjakarta: AR-RUZZ MEDIA.
Poerwadarminta, W.J.S. 2007. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Saud, Udin Syaefudin. 2009. Pengembangan Profesi Guru. Bandung: Alfabeta.