1.
Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
Sekarang ini, mutu
pendidikan di Indonesia semakin mengkhawatirkan. Hal ini terlihat dari
menurunnya peringkat Indonesia dalam HDI (Human Development Index) pada
tahun 2011 dari peringkat ke 111 dari 182 negara ke peringkat 124 dari 187
negara (www.suaramerdeka.com). Hal
tersebut sangatlah ironis karena menggambarkan bagaimana perkembangan mutu
pendidikan di Indonesia. Kurangnya mutu pendidikan di Indonesia disebabkan oleh
berbagai faktor. Salah satu faktor yang memengaruhi adalah kualitas pendidik
atau kualitas guru. Guru sebagai seorang pendidik sangat berpengaruh pada mutu
pendidikan, karena peran seorang guru adalah mengajarkan berbagai pengetahuan
kepada siswanya. Selain itu, seorang guru juga harus mampu mengembangkan segala
potensi dan kepribadian siswanya.
Undang-Undang Nomor 14 tahun 2005 tentang guru dan dosen
menyatakan bahwa guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik,
mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta
didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar,
dan pendidikan menengah. Dalam hal ini, pendidik harus memiliki
kualifikasi akademik dan kompetensi sebagai agen pembelajaran, sehat jasmani
dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan
nasional (Muslich, 2007: 87).
Dalam sebuah proses pendidikan, guru merupakan salah satu
komponen yang sangat penting karena dianggap mampu memahami, mendalami,
melaksanakan, dan akhirnya mencapai tujuan pendidikan (Nurdin, 2008: 17). Guru
mempunyai kedudukan sebagai tenaga profesional pada jenjang pendidikan dasar,
pendidikan menengah, dan pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan formal
yang diangkat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Pengakuan kedudukan
guru sebagai tenaga profesional tersebut dibuktikan dengan sertifikat pendidik.
Lebih lanjut Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang guru tersebut
mendefinisikan bahwa profesional adalah pekerjaan atau kegiatan yang dilakukan
oleh seseorang dan menjadi sumber penghasilan kehidupan yang memerlukan
keahlian, kemahiran, atau kecakapan yang memenuhi standar mutu atau norma
tertentu serta memerlukan pendidikan profesi.
Dengan adanya
sertifikasi tersebut, diharapkan guru mampu meningkatkan kinerja yang lebih
baik sehingga peningkatan mutu pendidikan akan berjalan ke arah yang lebih baik
pula. Di samping itu, juga diharapkan agar
guru sebagai tenaga profesional dapat berfungsi untuk meningkatkan martabat dan
peran guru sebagai agen pembelajaran dan berfungsi untuk meningkatkan mutu
pendidikan nasional, serta meningkatnya mutu pembelajaran dan mutu pendidikan
secara berkelanjutan.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian tersebut di atas, dalam makalah ini akan
dipaparkan beberapa permasalahan, yaitu sebagai berikut.
- Apakah yang dimaksud dengan sertifikasi guru itu?
- Apakah yang menjadi tujuan dan manfaat sertifikasi guru itu?
- Apa sajakah yang menjadi tahapan dalam sertifikasi guru?
1.3 Tujuan
Adapun tujuan dari makalah ini,
yaitu sebagai berikut.
- Untuk mengetahui hakikat sertifikasi guru.
- Untuk mengetahui tujuan dan manfaat sertifikasi guru.
- Untuk mengetahui tahapan dalam sertifikasi guru.
2.
Pembahasan
2.1
Pengertian Sertifikasi Guru
Sertifikasi adalah proses pemberian sertifikat pendidik untuk
guru. Sertifikasi ini diberikan kepada para guru untuk memenuhi standar
professional guru. Sertifikasi bagi guru prajabatan dilakukan melalui
pendidikan profesi di LPTK yang terakreditasi dan ditetapkan pemerintah
diakhiri dengan uji kompetensi. Sertifikasi guru dalam jabatan dilakukan sesuai
dengan Peraturan Menteri Pendidkan Nasional Nomor 18 Tahun 2007, yakni
dilakukan dalam bentuk portofolio.
Penilaian portofolio ini digunakan sebagai pengakuan atas
standar profesionalitas guru dalam bentuk kumpulan dokumen yang menggambarkan
kualitas guru yang mengarah pada sepuluh komponen, yaitu kualifikasi akademik,
pendidikan dan pelatihan, pengalaman mengajar, perencanaan dan pelaksanaan
pembelajaran, penilaian dari atasan dan pengawas, prestasi akademik, karya
pengembangan profesi, keikutsertaan dalam forum ilmiah, pengalaman organisasi
di bidang kependidikan dan sosial, penghargaan yang relevan dengan bidang
pendidikan.
Sertifikasi guru adalah sebuah upaya peningkatan mutu guru
dibarengi dengan peningkatan kesejahteraan guru sehingga diharapkan dapat
meningkatkan mutu pembelajaran dan mutu pendidikan di Indonesia secara
berkelanjutan. Bentuk peningkatan kesejahteran guru berupa tunjangan profesi
sebesar satu kali gaji pokok bagi guru yang telah memiliki sertifikat pendidik.
Perlunya ada sertifikat pendidik bagi guru dan dosen, bukan
saja untuk memenuhi persyaratan sebuah profesi yang menuntut adanya kualifikasi
minimum dan sertifikasi, juga dimaksudkan agar guru dan dosen dapat diberi
tunjangan profesi oleh negara. Tunjangan profesi itu diperlukan sebagai syarat
mutlak sebuah profesi agar penyandang profesi dapat hidup layak dan memadai,
apalagi hingga saat ini guru dan dosen masih tergolong kelompok yang
berpengahasilan rendah yang harus dibantu meningkatkan kesejahteraan melalui
undang- undang.
Berdasarkan kepentingan tersebut, maka dalam Undang- Undang
Guru dan Dosen dengan tegas dirumuskan pada pasal 16, bahwa pemerintah
memberikan tunjangan profesi guru yang diangkat oleh pemerintah dan satuan pendidikan
yang diselenggarakan oleh masyarakat yang memiliki sertifikat pendidik yang
besarnya setara dengan satu kali gaji pokok yang diangkat oleh pemerintah pada
tingkatan masa kerja dan kualifikasi yang sama. Tunjangan profesi ini
dialokasikan dalam APBN dan APBD. Subtansi yang sama bagi dosen diatur dalam
pasal 53 UUGD. Dengan demikian maka diskriminasi antara guru dan dosen yang
berstatus PNS dan non-PNS tidak akan terjadi lagi.
2.2 Tujuan dan Manfaat Sertifikasi Guru
Undang-Undang Guru dan Dosen (UUGD) menyatakan bahwa
sertifikasi sebagai bagian dari peningkatan mutu guru dan peningkatan
kesejahteraannya (Muslich, 2007: 7). Di samping itu, guru yang memiliki
sertifikat pendidik, berhak mendapatkan insentif yang berupa tunjangan profesi.
Besar insentif tunjangan profesi yang dijanjikan oleh UUGD adalah sebesar satu
kali gaji pokok untuk setiap bulannya.
Dengan adanya peningkatan kesejahteraan guru diharapkan akan
terjadi peningkatan mutu pendidikan nasional dari segi proses yang berupa
layanan dan hasil yang berupa luaran pendidikan. Peraturan Pemerintah No. 19
Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan secara eksplisit mengisyaratkan
adanya standarisasi isi, proses, kompetensi lulusan, pendidik dan tenaga
kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, pembiayaan, dan penilaian
pendidikan dalam mencapai tujuan pendidikan nasional.
Dengan adanya sertifikasi pendidik, diharapkan kompetensi
guru sebagai pengajar akan meningkat sesuai dengan standar yang telah
ditetapkan. Dengan kompetensi guru yang memenuhi standar minimal dan
kesejahteraan yang memadai diharapkan kinerja guru dalam mengelola proses
pembelajaran dapat meningkat. Oleh karena itu, diharapkan akan terjadinya
peningkatan hasil belajar siswa.
Sebagaimana lazim dipahami di kalangan pendidikan guru,
“sosok utuh” kompetensi profesional guru terdiri atas kemampuan:
a) mengenal
secara mendalam peserta didik yang hendak dilayani;
b) menguasai
bidang ilmu sumber bahan ajaran, baik dari segi substansi dan metodologi bidang
ilmu (disciplinary content knowledge),
maupun pengemasan bidang ilmu yang menjadi bahan ajar dalam kurikulum (pedagogical content knowledge);
c) menyelenggarakan
pembelajaran yang mendidik, yang mencakup perancangan program pembelajaran
berdasarkan serangkaian keputusan situasional, implementasi program
pembelajaran termasuk penyesuaian sambil jalan (midourse) berdasarkan on
going transactional decision berhubungan dengan adjustments dan reaksi unik (idiosyncratic
response) dari peserta didik terhadap tindakan guru, mengakses proses dan
hasil pembelajaran, dan menggunakan hasil asesmen terhadap proses dan hasil
pembelajaran secara berkelanjutan;
d) mengembangkan
kemampuan professional secara berkelanjutan.
Oleh karena itu, “rujukan dasar” yang digunakan dalam
penyelenggaraan sertifikasi guru adalah sosok utuh kompetensi professional guru
tersebut. Peningkatan mutu guru lewat program sertifikasi ini sebagai upaya
peningkatan mutu pendidikan. Rasionalnya adalah apabila kompetensi guru bagus
yang diikuti dengan penghasilan bagus, diharapkan kinerjanya juga bagus.
Apabila kinerjanya bagus, maka kegiatan belajar-mengajar pun menjadi bagus.
Kegiatan belajar-mengajar yang bagus diharapkan dapat membuahkan pendidikan
yang bermutu. Pemikiran itulah yang mendasari bahwa guru perlu disertifikasi.
Menurut Muslich (2007: 9), manfaat uji sertifikasi antara
lain sebagai berikut.
1. Melindungi
profesi guru dari praktik layanan pendidikan yang tidak kompeten sehingga dapat
merusak citra profesi guru itu sendiri.
2. Melindungi
masyarakat dari praktik pendidikan yang tidak berkualitas dan professional yang
akan menghambat upaya peningkatan kualitas pendidikan dan penyiapan sumber daya
manusia di negeri ini.
3. Menjadi
wahana penjamin mutu bagi Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) yang
bertugas mempersiapkan calon guru dan juga berfungsi sebagai kontrol mutu bagi pengguna
layanan pendidikan.
4. Menjaga
lembaga penyelenggara pendidikan dari keinginan internal dan eksternal yang
potensial dapat menyimpang dari ketentuan yang berlaku.
2.3
Tahapan dalam Sertifikasi Guru
Guna meningkatkan mutu pembelajaran dan pendidikan di
Indonesia, pemerintah telah meluncurkan berbagai kebijakan, salah satunya yang
saat ini sedang hangat dibicarakan adalah kebijakan yang berkaitan dengan
sertifikasi guru. Meski dengan kuota yang terbatas, di beberapa daerah–melalui
Dinas Pendidikan setempat-saat ini sedang menawarkan kepada guru-guru yang
dianggap telah memenuhi syarat untuk diajukan sebagai calon peserta
sertifikasi.
Sambutannya
memang luar biasa, para guru sangat antusias untuk mengikuti kegiatan seleksi
ini, bahkan para guru yang diberi tugas tambahan sebagai kepala sekolah pun
ramai-ramai ikut mendaftarkan diri sebagai calon peserta, terlepas apakah yang
bersangkutan masih aktif atau tidak aktif menjalankan profesi keguruannya.
Barangkali, motivasi yang sangat kuat untuk ikut serta dalam
ajang ini adalah di samping keinginan memperoleh legitimasi sebagai guru
profesional atau guru yang kompeten, tentunya daya tarik dari disediakannya
tunjangan profesi dan fasilitas lainnya yang lumayan menggiurkan. Dalam
Permendiknas Nomor 18 tahun 2007 tentang Sertifikasi bagi Guru dalam Jabatan
disebutkan bahwa sertifikasi bagi guru dalam jabatan dilaksanakan melalui uji
kompetensi dalam bentuk penilaian portofolio alias penilaian kumpulan dokumen
yang mencerminkan kompetensi guru, dengan mencakup 10 (sepuluh) komponen yaitu
sebagai berikut.
1. Kualifikasi akademik
2. Pendidikan dan pelatihan
3. Pengalaman mengajar
4. Perencanaan dan pelaksanaan
pembelajaran
5. Penilaian dari atasan dan pengawas
6. Prestasi akademik
7. Karya pengembangan profesi
8. Keikutsertaan dalam forum ilmiah
9. Pengalaman organisasi di bidang
pendidikan dan sosial
10. Penghargaan yang relevan dengan
bidang pendidikan
Jika kesepuluh komponen tersebut telah dapat terpenuhi
secara objektif dengan mencapai skor minimal 850 atau 57% dari perkiraan skor
maksimum (1500), maka yang bersangkutan bisa dipastikan untuk berhak menyandang
predikat sebagai guru profesional, beserta sejumlah hak dan fasilitas yang
melekat dengan jabatannya. Sayangnya, untuk memenuhi batas minimal 57% saja
ternyata tidak semudah yang dibayangkan, sejumlah permasalahan masih menghadang
di depan.
Permasalahan tidak hanya dirasakan oleh para guru yang belum
memiliki kualifikasi D4/S1 saja, yang jelas-jelas tidak bisa diikutsertakan,
tetapi bagi para guru yang sudah berkualifikasi D4/S1 pun tetap akan menjumpai
sejumlah persoalan, terutama kesulitan guna memenuhi empat komponen lainnya,
yaitu komponen:
(1)
pendidikan dan pelatihan,
(2)
keikutsertaan dalam forum ilmiah,
(3)
prestasi akademik, dan
(4)
karya pengembangan profesi.
Saat ini, keempat komponen tersebut belum sepenuhnya dapat
diakses dan dikuasai oleh setiap guru, khususnya oleh guru-guru yang berada
jauh dari pusat kota. Frekuensi kegiatan pelatihan dan pendidikan, forum
ilmiah, dan momen-momen lomba akademik relatif masih terbatas. Begitu juga
budaya menulis, budaya meneliti, dan berinovasi belum sepenuhnya berkembang di
kalangan guru. Semua ini tentu akan menyebabkan kesulitan tersendiri bagi para
guru untuk meraih poin dari komponen-komponen tersebut. Oleh karena itu, jika
ke depannya kegiatan sertifikasi guru masih menggunakan pola yang sama, yaitu
dalam bentuk penilaian portofolio dengan mencakup 10 (sepuluh) komponen seperti
di atas, maka perlu dipikirkan upaya-upaya agar setiap guru dapat memperoleh
kesempatan yang lebih luas untuk meraih poin dari komponen-komponen tersebut,
di antaranya melalui beberapa upaya berikut ini.
- Meningkatkan kuantitas dan kualitas kegiatan pendidikan dan pelatihan, serta forum ilmiah di setiap daerah dan para guru perlu terus-menerus dimotivasi dan difasilitasi untuk dapat berpartisipasi di dalamnya. Memang idealnya, kegiatan pendidikan dan pelatihan atau mengikuti forum ilmiah sudah harus merupakan kebutuhan yang melekat pada diri individu guru itu sendiri, sehingga guru pun sudah sewajarnya ada kerelaan berkorban, baik berupa materi, tenaga dan fikiran guna dan mengikuti kegiatan pendidikan dan pelatihan maupun forum ilmiah. Tetapi harus diingat pula bahwa kegiatan pendidikan, pelatihan dan forum ilmiah tidak hanya untuk kepentingan individu guru yang bersangkutan semata, tetapi organisasi pun (baca: sekolah atau dinas pendidikan) didalamnya memiliki kepentingan. Oleh karena itu sudah sewajarnya jika sekolah atau dinas pendidikan berusaha seoptimal mungkin untuk memfasilitasi kegiatan pendidikan dan pelatihan atau forum ilmiah bagi para guru.
- Meningkatkan frekuensi momen lomba-lomba, baik untuk kalangan guru maupun siswa (guru akan diperhitungan dalam perannya sebagai pembimbing) di daerah-daerah, secara berjenjang mulai dari tingkat sekolah, kecamatan sampai dengan tingkat kabupaten dan bahkan bila memungkinkan bisa diikutsertakan pada tingkat yang lebih tinggi. Lomba bagi guru tidak hanya diartikan dalam bentuk pemilihan guru berprestasi yang sudah biasa dilaksanakan setiap tahunnya, tetapi juga bentuk-bentuk perlombaan lainnya yang mencerminkan kemampuan akademik, pedagogik dan sosio-personal guru. Kegiatan lomba bagi guru dan siswa pada tingkat sekolah sebenarnya jauh lebih penting, karena melalui ajang lomba pada tingkat sekolah inilah dapat dihasilkan guru-guru dan siswa terpilih, yang selanjutnya dapat diikutsertakan berkompetisi pada ajang lomba tingkat berikutnya. Agar kegiatan lomba pada tingkat sekolah memperoleh respons positif, khususnya dari para guru, sudah barang tentu sekolah harus mampu memberikan apresiasi yang seimbang dan menarik.
- Untuk menumbuhkan budaya menulis, kiranya perlu dipikirkan agar di setiap sekolah diterbitkan bulletin, majalah sekolah atau media lainnya (publikasi melalui internet atau majalah dinding, misalnya), yang beberapa materinya berasal dari para guru secara bergiliran. Dalam hal ini, untuk sementara bisa saja mengabaikan dulu apakah berbobot atau tidaknya karya tulisan mereka, yang diutamakan di sini adalah kemauan mereka untuk memulai menulis. Apabila memang ditemukan karya guru yang dipandang bagus dan berbobot, tidak ada salahnya untuk mencoba dikirimkan ke majalah atau koran-koran tertentu yang memungkinkan bisa dipertimbangkan untuk kepentingan penilaian sertifikasi.
- Untuk menanamkan budaya meneliti di kalangan guru, sekolah-sekolah dapat memfasilitasi dan memberikan motivasi kepada guru untuk melaksanakan kegiatan Penelitian Tindakan Kelas, bisa saja dalam bentuk lomba Penelitian Tindakan Kelas atau bahkan bila perlu dengan cara mewajibkan para guru untuk melaksanakan Penelitian Tindakan Kelas, minimal dalam satu tahun satu kali. Di samping untuk kepentingan penilaian sertifikasi, kegiatan Penelitian Tindakan Kelas terutama dapat dimanfaatkan untuk kepentingan perbaikan mutu proses pembelajaran guru yang bersangkutan, sehingga guru tidak terjebak dan berkutat dalam proses pembelajaran yang sama sekali tidak efektif. Tentunya, dalam hal ini setiap hasil karya dari setiap guru perlu diapresiasi secara seimbang pula, baik dalam bentuk materi maupun non materi.
Penyelenggaraan kegiatan pendidikan dan pelatihan, forum
ilmiah dan aneka lomba akademik bagi guru, sudah pasti harus menjadi tanggung
jawab pemerintah, khususnya pemerintah daerah melalui sekolah atau Dinas Pendidikan
setempat. Akan tetapi, organisasi profesi, perguruan tinggi dan masyarakat
setempat pun seyogyanya dapat turut ambil bagian untuk menyelenggarakan dan
memfasilitasi kegiatan-kegiatan tersebut, sebagai wujud nyata dari tanggung
jawab dan kepeduliannya terhadap pendidikan.
Dengan semakin terbukanya peluang-peluang untuk mengikuti
berbagai kegiatan di atas, maka kesempatan guru untuk memperoleh poin penilaian
dalam rangka mengikuti program sertifikasi pun semakin terbuka lebar. Bersamaan
itu pula, niscaya kualitas guru dapat menjadi lebih baik dalam mengantarkan
pendidikan dan sumber daya manusia Indonesia menuju ke arah yang lebih
berkualitas.
Masih seputar permasalahan sertifikasi guru, khusus untuk
para konselor/guru pembimbing tampaknya harus lebih bersabar lagi, karena
hingga saat ini sepertinya pemerintah belum sepenuhnya menunjukkan
keberpihakannya pada profesi ini. Berbagai ketidakjelasan dalam kebijakan
tentang konseling di sekolah, termasuk dalam hal sertifikasi konselor/guru
pembimbing masih tetap dirasakan membingungkan, misalnya dalam menilai
perencanaan dan pelaksanaan konseling, saat ini terpaksa masih menggunakan
instrumen penilaian perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran, yang sebenarnya
isi dan indikatornya kurang sesuai dengan karakteristik tugas dan pekerjaan
konseling.
Padahal, kita mencatat ada beberapa nama pakar konseling
yang secara langsung atau tidak langsung terlibat dalam perumusan kebijakan
sertifikasi guru ini, namun tampaknya suara mereka masih parau, sehingga tak
mampu untuk mengangkat nasib profesinya sendiri. Selain itu, para konselor/guru
pembimbing pun sebetulnya sudah memiliki organisasi tersendiri yang disebut
Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia (ABKIN), tetapi tampaknya kekuatan
organisasi ini pun masih belum memiliki taring yang tajam untuk memperjuangkan
nasib anggota profesi dan eksisitensi profesinya sendiri dalam kebijakan
pendidikan nasional kita. Meskipun dalam organisasi profesi ini banyak pakar
konseling yang terlibat sebagai pengurus maupun anggota organisasi, tetapi
rupanya kepakaran mereka tidaklah cukup untuk meyakinkan pemerintah dalam
membuat kebijakan pendidikan yang benar-benar memiliki keberpihakan pada
profesi konseling, yang pada akhirnya profesi konseling tetap saja dalam posisi
yang termarjinalkan. Memang sungguh sangat tragis dan menyakitkan, dan itulah
salah satu lagi bukti dari “keajaiban” kebijakan pendidikan kita.
Sesungguhnya paradigma baru pendidikan nasional, telah
menempatkan pendidik sebagai tenaga profesional
yang bertugas merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil
pembelajaran, melakukan pembimbingan dan pelatihan, serta melakukan penelitian
dan pengabdian masyarakat. Dalam ketentuan umum UUGD (pasal 1) pengertian
professional diberi rumusan: “Profesional adalah kegiatan atau yang dilakukan seseorang dan menjadi
sumber penghasilan kehidupan yang memerlukan keahlian, kemahiran atau kecakapan
yang memenuhi standar mutu atau norma tertentu, serta memerlukan pendidikan
profesi”. Sejalan dengan hal tersebut, Poerwadarminta (2007: 911) menyatakan
bahwa profesional mengharuskan adanya pembayaran untuk melakukannya.
Selanjutnya pasal 7 ayat 1 UUGD ditetapkan dengan jelas
sembilan prinsip professional yaitu guru dan dosen: (a) memiliki bakat, minat
dan panggilan jiwa dan idealisme, (b) memiliki komitmen untuk meningkatkan mutu
pendidikan, keimanan, ketaqwaan, dan akhlak mulia, (c) memiliki kualifikasi
akademik dan latar belakang pendidikan sosial dengan bidang tugas, (d)
memiliki kompetensi yang diperlukan sesuai dengan bidang tugas, (e) memiliki
tanggung jawab atas pelaksanaan tugas keprofesionalan, (f) memperoleh
penghasilan yang ditentukan sesuai dengan prestasi kerja, (g) memiliki
kesempatan untuk mengembangkan keprofesionalan secara berkelanjutan dengan belajar
sepanjang hayat, (h) memiliki jaminan perlindungan hukum dalam melaksanakan
tugas keprofesionalannya, dan khusus bagi guru harus (i) memiliki organisasi
profesi yang mempunyai kewenangan mengatur hal- hal berkaitan dengan tugas
keprofesionalan guru.
Pemberdayaan profesi guru atau pemberdayaan profesi dosen
dilaksanakan melalui pengembangan diri yang dilakukan secara demokratis,
berkeadilan, tidak diskriminatif dan berkelanjutan dengan menjunjung tinggi hak
asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, kemajemukan bangsa, dan kode
etik organisasi profesi. Profesi itu merupakan suatu jenis pelayanan atau
pekerjaan yang unik (khas), dalam arti berbeda dari jenis pekerjaan atau
pelayanan apapun yang lainnya (Saud, 2009: 9).
Selain itu, dalam pasal 1 ayat 1 butir 1 UUGD ditetapkan
bahwa guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama
mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi
peserta didik pada jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan
menengah termasuk pendidikan usia dini.
Kedudukan guru sebagai tenaga professional diatur lebih rinci
pada pasal 2 ayat 1 UUGD, bahwa guru mempunyai kedudukan sebagai tenaga
profesional pada jenjang pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan
pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan formal yang diangkat sesuai
dengan peraturan perundang-undangan. Pengakuan kedudukan guru sebagai tenaga
profesional dibuktikan dengan sertifikat pendidik.
Pengakuan kedudukan guru sebagai tenaga profesional yang
dibuktikan dengan sertifikat pendidik berfungsi untuk meningkatkan martabat dan
peran guru sebagai agen pembelajaran dalam meningkatkan mutu pendidikan. Selanjutnya,
kedudukan guru sebagai tenaga professional bertujuan untuk melaksanakan sistem
pendidikan nasional dan mewujudkan tujuan pendidikan nasional, yaitu
berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan
bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatif, mandiri, serta menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab.
Patut disadari bahwa kedudukan guru sebagai tenaga
profesional dimaksudkan agar guru mempunyai kompetensi ilmu, teknis,
dan moral dalam menjalankan tugasnya secara bertanggung jawab dengan jaminan
kesejahteraan yang memadai untuk memenuhi hak warga negara memperoleh
pendidikan yang bermutu. Bahkan, lebih jauh dari itu, untuk mencerdaskan
kehidupan bangsa dengan mecapai tujuan pendidikan.
Perlu ditegaskan bahwa sertifikat merupakan sarana atau
instrumen meningkatkan kualitas kompetensi guru supaya menjadi guru
yang profesional, untuk sertifikasi guru bukan tujuan melainkan
sarana untuk mencapai tujuan, yaitu menciptakan guru yang berkualitas. Oleh karena
itu, perlu diwaspadai adanya kecenderungan sebagai orang yang melihat bahwa
sertifikasi guru adalah tujuan, sebab kalau ini yang terjadi maka kualitas guru
yang diharapkan tidak akan tercapai.
3.
Penutup
3.1 Simpulan
Dengan adanya program
sertifikasi guru diharapkan kinerja guru akan meningkat sehingga mutu
pendidikan di Indonesia juga akan meningkat ke arah yang lebih baik. Setelah
disertifikasi, diharapkan guru dapat memenuhi empat komponen seperti yang
tertuang dalam Undang-Undang Guru dan Dosen Pasal 10 dan Peraturan Pemerintah
tentang Standar Nasional Pendidikan Pasal 28. Kompetensi guru meliputi empat komponen,
yaitu kompetensi pedagogik, kepribadian, professional, dan sosial. Namun, dalam
praktiknya, banyak guru yang tidak dapat memenuhi keempat komponen tersebut dan
dari beberapa penelitian juga menunjukan bahwa kinerja guru tidak meningkat
setelah adanya sertifikasi dan cenderung masih sama sebelum adanya sertifikasi.
Untuk menjaga mutu guru yang sudah lolos sertifikasi seharusnya ada pola
pembinaan dan pengawasan yang terpadu dan berkelanjutan bagi para guru.
Oleh karena itu, “rujukan dasar” yang digunakan dalam
penyelenggaraan sertifikasi guru adalah sosok utuh kompetensi professional guru
tersebut. Peningkatan mutu guru lewat program sertifikasi ini sebagai upaya
peningkatan mutu pendidikan. Rasionalnya adalah apabila kompetensi guru bagus
yang diikuti dengan penghasilan bagus, diharapkan kinerjanya juga bagus.
Apabila kinerjanya bagus, maka kegiatan belajar-mengajar pun menjadi bagus.
Kegiatan belajar-mengajar yang bagus diharapkan dapat membuahkan pendidikan
yang bermutu. Pemikiran itulah yang mendasari bahwa guru perlu disertifikasi.
Undang-Undang Guru dan Dosen (UUGD) telah ditetapkan dan
sudah menjadi suatu kebijakan untuk mewujudkan guru yang profesional dan
menetapkan kualifikasi dan sertifikasi sebagai bagian penting dalam menentukan
kualitas dan kepentingan guru. Upaya sungguh- sungguh perlu dilaksanakan untuk
mewujudkan guru
yang profesional, sejahtera dan memiliki kompetensi. Hal ini merupakan
syarat mutlak untuk menciptakan sistem dan praktek pendidikan yang berkualitas
sebagai prasyarat untuk mewujudkan kemakmuruan dan kemajuan bangsa Indonesia.
3.2 Saran
Dihadapan masyarakat, keberadaan seorang guru dianggap dan
dipandang sebagai orang yang memiliki kemampuan (pendidikan) yang tinggi. Oleh
karena itu, seorang guru harus betul-betul komitmen dalam menjalankan tugasnya,
karena berhasil tidaknya pendidikan bergantung pada potensi seorang guru.
Daftar
Pustaka
Muslich, Masnur. 2007. Sertifikasi Guru Menuju Profesionalisme
Pendidik. Jakarta: PT Bumi Aksara.
Nurdin, Muhamad. 2008. Kiat Menjadi Guru Profesional.
Jogjakarta: AR-RUZZ MEDIA.
Poerwadarminta, W.J.S. 2007. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta:
Balai Pustaka.
Saud, Udin Syaefudin. 2009. Pengembangan Profesi Guru. Bandung:
Alfabeta.
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusTerimw kasih, ,artikenya
BalasHapusSangat bermanfaat